Jumat, 26 Maret 2010

klinik property ; Barang Milik Negara - Daerah

klinik property ;
MENGELOLA BARANG MILIK NEGARA
(THE STATE PROPERTY Of MANAGEMENT)


A. PENDAHULUAN

Barang Milik Negara/Daerah memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaannya sarat dengan potensi konflik kepentingan. Ngak heran banyak para penghuninya yang menempati rumah dinas tanpa ada kejelasan status dan asal mula nya banyak di selewengkan oleh oknum untuk kepentingan sendiri yang nota bene itu jelas sekali milik Institusi Negara/Daerah.
Sehingga penghuni rumah dinas dapat memiliki dengan mengurus "IJIN" dalam bentuk surat yang seolah "RESMI". Padahal dalam peraturan dan aturan mainnya tidak demikian...

Nahhh Audiens KlinikProperty khan udah beredar ... blog ini untuk lebih menjelaskan seperti yang sudah dilaunch makanya ikuuuttin teruss yaaah...

klinikproperty mencatat dan investigasi mengenai kacau nya management logistik property nya...
Gambaran umum pengelolaan BMN/D selama ini adalah:
1. Belum lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status
kepemilikannya
2. Belum tersedianya database yang akurat dalam rangka penyusunan Neraca
Pemerintah.
3. Pengaturan yang ada belum memadai dan terpisah-pisah (Lampiran I).
4. Kurang adanya persamaan persepsi dalam hal pengelolaan BMN/D.


B. PENGATURAN PENGELOLAAN BMN SESUAI UU 1/2004 DAN UU 17/2003
Undang-undang No. 1 Tahun 2004 ini mengamanatkan pengelolaan BMN dituangkan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah.
Adapun pokok-pokok pengaturan pengelolaan BMN
sesuai Undang-undang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Adanya pemisahan peran antara pengelola dan pengguna (pasal 42, 43, dan 44
UU No. 1/2004), yang selanjutnya perlu pengaturan yang jelas mengenai hak
dan kewajiban antara pengelola dan pengguna;

2. Barang Milik Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara/daerah tidak dapat dipindahkan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun
2004). Dengan demikian, pemanfaatan BMN oleh pengguna diarahkan untuk
penyelenggaraan Tupoksi masing-masing.

3. Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah
mendapat persetujuan DPR (Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004).

4. Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas adalah untuk
pemindahtanganan BMN yang berupa tanah dan bangunan, dengan beberapa
pengecualian. Persetujuan DPR juga diperlukan untuk pemindahtanganan BMN
diluar tanah dan bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah). Sedangkan pemindahtanganan BMN diluar tanah dan
bangunan yang bernilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah
mendapatkan persetujuan Presiden, dan yang bernilai sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan Menteri Keuangan (Pasal 46 UU No. 1 Tahun 2004).

5. Penjualan BMN prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah
(Pasal 48 UU No. 1 Tahun 2004).

6. BMN yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat harus disertifikatkan
atas nama pemerintah Republik Indonesia yang bersangkutan (Pasal 49 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 2004). Yang perlu diatur lebih lanjut adalah apakah sertifikasi
tanah tersebut atas nama Pemerintah RI atau atas nama Pemerintah RI c.q
Menteri Keuangan atau atas nama Pemerintah RI c.q. instansi/
kementerian/lembaga pengguna , karena masing-masing alternatif memiliki
implikasi yang berbeda. Demikian juga untuk sertifikasi tanah-tanah
pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan sertifikasi tanah dalam penjelasan
pasal 49 ayat (1) UU No. 1/2004 diamanatkan perlunya pengaturan pelaksanaan
oleh Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara berkoordinasi
dengan lembaga yang bertanggungjawab di bidang pertanahan;

7. Bangunan Milik Negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan
ditatausahakan dengan tertib (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1/2004).

8. Khusus untuk tanah dan bangunan (pasal 49 ayat (3)) apabila tidak
dimanfaatkan untuk menunjang Tupoksi wajib diserahkan kepada Menteri
Keuangan.

9. BMN dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas
tagihan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dilarang digadaikan
atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dan dilarang untuk
dilakukan penyitaan (Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta pasal 50 huruf c dan d UU
No. 1 Tahun 2004).

10. Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan BMN diatur
dengan peraturan pemerintah (Pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004).


C. BATASAN PENGATURAN DALAM RPP
1. Negara
Pengertian atau batasan ”Negara” dalam kata ”Barang Milik Negara (BMN)” adalah
Pemerintah RI, dalam arti kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga adalah
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 17/2003,
yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.

2. Barang Milik Negara (BMN)
Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua
barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada Perusahaan Negara dan BMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkanstatusnya
menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan terhadap BMN yang statusnya
sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.

Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat lebih mudah
identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sedangkan untuk barang-barang yang berasal
dari perolehan yang sah perlu adanya batasan yang lebih jelas, mana yang termasuk
sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barang-barang yang berasal dari
perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut ketentuan perundangundangan,
ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang sah ditetapkan sebagai
Barang Milik Negara .

3. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004,
ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan Pemerintah meliputi
penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya, perencanaan kebutuhan,
tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian,
penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut merupakan siklus minimal
atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik negara/daerah (asset
management cycle).


D. LANDASAN PEMIKIRAN PENGELOLAAN BMN
Landasan-landasan pemikiran yang digunakan dalam pengaturan pengelolaan BMN
meliputi:

1. Landasan Filosofi
Hakekat BMN/D merupakan salah satu unsur penting penyelenggaraan pemerintahan
dalam kerangka NKRI untuk mencapai cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pengelolaan
BMN/D perlu dilakukan dengan mendasarkan pada perturan perundang-undangan yang
berlaku untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan dimaksud.

2. Landasan Operasional
Landasan Operasional Pengelolaan BMN/D lebih berkaitan dengan kewenangan institusi
atau Lembaga Pengelola/Pengguna Barang milik negara, yang dapat dikemukakan
sebagai berikut :

• Pengelolaan Kekayaan Negara yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945
adalah Negara adalah badan penguasa atas barang negara dengan hak
menguasai dan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Instansi
pengelolanya adalah instansi pemerintah departemen/LPND yang diberikan
wewenang untuk itu. Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional, Tambang oleh
Departemen Sumber Daya Mineral dan Energi, laut dan kekayaannya oleh
Departemen Kelautan dan sebagainya. Pengaturan atas pengelolaan barang
milik negara dalam ruang lingkup ini telah diatur dalam berbagai undangundang.

• Pengelolaan Barang milik negara yang bersumber pada pasal 23 UUD 1945
adalah Negara sebagai Pemerintah Republik Indonesia yang dapat memiliki
barang atau sesuatu sebagai aset kekayaan pemerintah dengan tujuan untuk
menjalankan roda pemerintahan. Instansi pengelola adalah Presiden yang
didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan instansi pengguna adalah
kementerian negara/lembaga.

3. Landasan Yuridis
Acuan dasar dalam pengelolaan BMN/D tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU
No 1 Tahun 2004, khususnya Bab VII dan Bab VIII pasal 42 s/d pasal 50. Untuk itu
seluruh Peraturan Perundang-undangan yang ada perlu dikaji kembali termasuk
penerapannya untuk disesuaikan dengan acuan trsebut di atas.

4. Landasan Sosiologis
Rasa ikut memiliki ( sense of bilonging ) masyarakat terhadap BMN/D merupakan
wujud kepercayaan kepada pemerintah yang antara lain diwujudkan dalam bentuk
keterlibatannya dalam merawat dan mengamankan BMN/D dengan baik. Namun, masih
ditemui adanya pandangan sebagian anggota masyarakat bahwa BMN adalah milik
rakyat secara bersama, yang diwujudkan adanya usaha-usaha untuk memanfaatkan
dan memiliki BMN/D tanpa memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku,
misalnya penguasaan, penyerobotan, atau penjarahan tanah-tanah negara. Pengaturan
yang memadai mengenai pengelolaan BMN/D antara lain diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengamanan dan optimalisasi
pendayagunaan BMN/D dengan selalu mendasarkan pada kaidah-kaidah atau ketentuan
yang berlaku.

E. AZAS-AZAS PENGELOLAAN BMN
Pengelolaan BMN dilaksanakan dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut:

1. Azas fungsional
Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah dibidang pengelolaan
BMN dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna BMN sesuai fungsi,
wewenang, dan tangung jawab masing-masing.

2. Azas kepastian hukum
Pengelolaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan
perundang-undangan, serta azas kepatutan dan keadilan.

3. Azas transparansi (keterbukaan)
Penyelenggaraan pengelolaan BMN harus transparan dan membuka diri
terhadap hak dan peran serta masyarakat dalam memperoleh informasi yang
benar dan keikutsertaannya dalam mengamankan BMN.

4. Efisiensi
Penggunaan BMN diarahkan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang
diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan Tupoksi pemerintahan secara
optimal.

5. Akuntanbilitas publik
Setiap kegiatan pengelolaan BMN harus dapat dipertaggungjawabkan kepada
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara.

6. Kepastian nilai
Pendayagunaan BMN harus didukung adanya akurasi jumlah dan nominal BMN.
Kepastian nilai merupakan salah satu dasar dalam Penyusunan Neraca
Pemerintah dan pemindahtanganan BMN.

F. LINGKUP PENGATURAN PENGELOLAAN DALAM RPP
Untuk merumuskan siklus yang lebih lengkap, maka ruang lingkup Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang sedang dalam
proses pembahasan, yang khusus terkait dengan pengelolaan BMN meliputi:
1. Pengertian, maksud dan tujuan, asas-asas, lingkup BMN;
2. Pejabat pengelolaan BMN, yang berkedudukan sebagai pengelola, dan pengguna
BMN beserta hak dan kewajibannya);
3. Perencanaan Kebutuhan dan Pengadaan, yang terkait dengan perencanaan
kebutuhan BMN dan perolehan (kegiatan atau proses suatu kekayaan/barang
menjadi BMN), terutama yang berasal dari pengadaan;
4. Penguasaan, Penetapan Status dan Penggunaan, mengenai ketentuan
penetapan BMN pihak yang berhak menggunakan dan batasan hak, kewenangan
dan kewajiban dalam penggunaan BMN.
5. Pemanfaatan, yang berisi tentang ketentuan pemanfaatan BMN, pihak yang
berhak menentukan pemanfaatan BMN, dan batasan hak, kewenangan dan
kewajiban dalam pemanfaatan BMN;
6. Pengamanan, yang berisi tentang pengaturan pengamanan dari segi
administrasi, hukum dan fisik;
7. Penilaian, tentang ketentuan mengenai penilaian BMN dalam rangka
pemanfaatan, pemindahtanganan, dan pelaporan BMN;
8. Penghapusan, mengenai pertimbangan penghapusan, tindak lanjut
penghapusan, dan prosedur penghapusan;
9. Pemindahtangan, mengenai ketentuan-ketentuan mengenai penjualan,
pertukaran, hibah, penyertaan pemerintah atas BMN;
10. Penatausahaan, pengaturan tentang pendataan atas seluruh kekayaan yang ada
pada seluruh kementerian negara/lembaga baik di lingkungan Pemerintah Pusat
dan kekayaan yang ada pada pihak lain, misalnya BUMN dan Badan Usaha
lainnya; kegiatan pencatatan dan pembukuan; dan kegiatan pelaporan;
11. Pengawasan/Pengendalian, pengaturan tentang pengawasan atau pengendalian
atas penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN;
12. Sanksi/Tuntutan Ganti Rugi terkait dengan pengelolaan BMN

G. TAHAP PENYELESAIAN PENYUSUNAN RPP
Tahap-tahap yang telah dilaksanakan dalam penyusunan RPP dimaksud meliputi:
1. Seminar ”Naskah Akademis”;
2. Menghimpun masukan-masukan dari nara sumber terkait;
3. Penyusunan pointers pengaturan di bidang pengelolaan BMN;
4. Drafting materi ke dalam RPP

Tahapan-tahapan berikutnya dalam penyelesaian RPP meliputi:
1. Penyelesaian drafting RPP dan penyempurnaan legal draftingnya
2. Seminar draft RPP
3. Penyeahan RPP kepada KPMK sampai dengan penyelesaian menjadi PP pada
Sekretariat Negara.